GpY8TUWlGpA9TfA5GfdpBUYp

Headline:

Gelar Doktor Menumpuk, Indonesia Tetap Kalah dari Malaysia?

Berlimpah gelar doktor, tapi Indonesia masih tertinggal dari Malaysia? Temukan fakta mengejutkan dan solusinya dalam artikel penuh insight ini.

Gelar Doktor Menumpuk, Indonesia Tetap Kalah dari Malaysia?

Saat Gelar Menggunung, Tapi Tetap di Belakang

yakangedu.com - Pagi datang, secangkir kopi belum habis, tapi pertanyaan ini udah nyangkut di kepala: Gelar doktor menumpuk, Indonesia tetap kalah dari Malaysia? Hmm, bukannya makin banyak doktor berarti makin pintar? Makin pintar berarti makin unggul dong? Tapi nyatanya, kita malah masih tertinggal jauh. Bukan cuma dari Malaysia, tapi juga Vietnam dan Thailand. Gimana bisa?

Apa yang Sebenarnya Terjadi?

Baru-baru ini, Universitas Pancasila kembali menorehkan tinta emas di dunia akademik. Salah satu alumninya, Dwi Ria Latifa politikus sekaligus Komisaris BRI sukses meraih gelar doktor dengan disertasi tentang politisasi identitas dalam Pilkada. Keren? Jelas. Apalagi dapat cumlaude dengan IPK 3,93. Ini bukan nilai ecek-ecek.

Gelar Doktor Menumpuk, Indonesia Tetap Kalah dari Malaysia?

Tapi saat semua mata terpukau oleh toga dan gelar, kita mesti balik nanya: apakah gelar-gelar ini berdampak langsung terhadap kemajuan negara? Apakah deretan doktor ini ikut menyumbang daya saing bangsa di kancah global?

Siapa Saja yang Terlibat? 

Bukan cuma Dwi Ria. Banyak tokoh, akademisi, hingga politisi kita yang udah nyabet gelar akademik tinggi. Universitas-universitas ternama pun berusaha melahirkan lulusan doktor berkualitas. LPDP juga udah ngasih beasiswa ke ratusan ribu mahasiswa dari S1 sampai S3. Bahkan, pada 2024 saja, ada 18.000 penerima beasiswa LPDP yang lulus dari 136 institusi. Ini artinya, Indonesia nggak kekurangan orang pintar.

Tapi ketika dibandingin sama Malaysia atau Vietnam, kita masih harus legowo di posisi bawah. Lulusan S2 dan S3 kita hanya 0,53 persen per kapita. Bandingin deh dengan Malaysia atau Thailand yang bisa tembus 2,43 persen. Jauh banget kan?

Di Mana Ketimpangan Terjadi? 

Gelar Doktor Menumpuk, Indonesia Tetap Kalah dari Malaysia?

Ketimpangan ini nggak cuma soal angka lulusan. Tapi juga soal persebaran dan dampaknya. Banyak lulusan S2-S3 yang berkumpul di kota-kota besar, kerja di instansi tertentu, tapi nggak menyentuh akar rumput. Sementara daerah-daerah tertinggal justru kekurangan SDM berpendidikan tinggi.

Dan ironisnya, negara-negara tetangga bisa memanfaatkan lulusannya untuk mempercepat pertumbuhan teknologi, inovasi pendidikan, dan kebijakan berbasis riset. Sementara kita? Masih sibuk berdebat soal isu identitas di panggung politik.

Kapan Kita Mulai Tertinggal? 

Kalau ditelusuri, ketertinggalan ini bukan baru kemarin sore. Ini akumulasi dari sistem pendidikan yang belum merata, kurangnya budaya riset, hingga minimnya integrasi antara akademisi dan pembuat kebijakan. Saat negara lain fokus ke kualitas dan kontribusi ilmiah, kita kadang lebih fokus ke gengsi gelar dan seremoni.

Padahal, udah sejak 2012 LPDP dibentuk buat menjaring talenta terbaik bangsa. Tapi angka per kapita kita tetap stagnan. Sementara negara-negara lain terus melesat. Bahkan, negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, sampai Jerman punya lulusan S2-S3 lebih dari 9 persen per kapita.

Kenapa Bisa Begini?

Gelar tanpa kontribusi itu kayak motor gede tapi cuma dipajang di garasi. Nggak ngaspal, nggak ngebut, nggak nyampe tujuan. Banyak lulusan doktor kita yang akhirnya stuck di birokrasi atau dunia politik tanpa realisasi nyata dari ilmu yang digelutinya.

Disertasi bagus? Iya. Tapi apakah isinya dijadikan rujukan kebijakan? Apakah ditindaklanjuti dengan langkah konkret? Itu dia pertanyaannya. Di sinilah Malaysia dan negara tetangga kita unggul. Mereka jadikan ilmu sebagai alat dorong, bukan sekadar etalase.

Gimana Cara Mengejar Ketertinggalan?

Kalau mau mengejar ketertinggalan, kita nggak cukup cuma tambah jumlah doktor. Yang penting: kualitas, dampak, dan persebarannya. Berikut beberapa langkah yang bisa kita tempuh:

1. Riset Harus Dihidupkan

Riset bukan cuma buat jurnal, tapi juga harus berujung pada solusi konkret. Harus ada sinergi antara kampus dan pembuat kebijakan.

2. Pendidikan Inklusif

Perlu pemerataan pendidikan tinggi sampai ke pelosok. Jangan hanya Jakarta yang penuh profesor, tapi Papua dan NTT juga perlu pemikir hebat.

3. Doktor Turun Gunung

Lulusan S3 harus berani masuk ke ruang-ruang perubahan: desa, sekolah, UMKM, dan startup. Jangan cuma jadi gelar pelengkap kartu nama.

4. Bangun Budaya Ilmiah

Literasi dan budaya diskusi harus digalakkan sejak dini. Anak muda jangan cuma akrab dengan TikTok, tapi juga jurnal dan podcast edukatif.

Waktunya Aksi, Bukan Sekadar Gelar

Gelar Doktor Menumpuk, Indonesia Tetap Kalah dari Malaysia?

Gelar boleh menumpuk, tapi kalau nggak dibarengi kontribusi nyata, kita hanya jadi bangsa penuh toga tapi miskin pengaruh. Indonesia butuh lebih dari sekadar doktor. Kita butuh pemikir yang berani turun ke lapangan, mengubah wacana jadi karya, mengubah disertasi jadi aksi.

Mari jadikan ilmu bukan sekadar koleksi, tapi bekal revolusi. Saatnya kampus bersuara, bukan hanya di seminar, tapi juga di lapangan perubahan.

Pendidikan bukan soal siapa yang punya gelar, tapi siapa yang membawa perubahan.

Yuk, saatnya berpikir kritis dan bertindak! Bagikan artikel ini ke sesama pegiat pendidikan, pelajar, dan masyarakat umum. Ajak mereka berdiskusi soal solusi. Karena perubahan nggak butuh banyak janji, tapi aksi dari kita semua! 

"Ilmu tanpa aksi hanya akan jadi debu di rak buku. Tapi ilmu yang diterapkan bisa jadi cahaya yang menerangi jalan bangsa." - (ye)**

Table of contents

0Comments

Form
Link copied successfully